Panglima Besar Jenderal Sudirman, Seri Tokoh Indonesia
Jenderal Sudirman (1916-1950)
Panglima dan Jenderal Pertama
RI
Jenderal Sudirman merupakan salah satu tokoh
besar di antara sedikit orang lainnya yang pernah dilahirkan oleh suatu
revolusi. Saat usianya masih 31 tahun ia sudah menjadi seorang jenderal. Meski
menderita sakit paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya melawan Belanda. Ia
berlatarbelakang seorang guru HIS Muhammadiyah di Cilacap dan giat di kepanduan
Hizbul Wathan.
Ketika pendudukan Jepang, ia masuk tentara
Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor yang begitu tamat pendidikan, langsung
menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah
TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia
(Panglima TNI). Ia merupakan Pahlawan Pembela Kemerdekaan yang tidak perduli
pada keadaan dirinya sendiri demi mempertahankan Republik Indonesia
yang dicintainya. Ia tercatat sebagai Panglima sekaligus Jenderal pertama dan
termuda Republik ini.
Sudirman merupakan salah
satu pejuang dan pemimpin teladan bangsa ini. Pribadinya teguh pada prinsip dan
keyakinan, selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di
atas kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten dan konsekuen dalam membela
kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Hal ini boleh dilihat ketika Agresi
Militer II Belanda. Ia yang dalam keadaan lemah karena sakit tetap bertekad
ikut terjun bergerilya walaupun harus ditandu. Dalam keadaan sakit, ia memimpin
dan memberi semangat pada prajuritnya untuk melakukan perlawanan terhadap
Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia disebutkan merupakan salah satu tokoh besar
yang dilahirkan oleh revolusi negeri ini.
Sudirman yang dilahirkan di
Bodas Karangjati, Purbalingga, 24 Januari 1916, ini memperoleh pendidikan
formal dari Sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah yang terkenal berjiwa nasional
yang tinggi. Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo tapi
tidak sampai tamat. Sudirman muda yang terkenal disiplin dan giat di organisasi
Pramuka Hizbul Wathan ini kemudian menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di
Cilacap. Kedisiplinan, jiwa pendidik dan kepanduan itulah kemudian bekal
pribadinya hingga bisa menjadi pemimpin tertinggi Angkatan Perang.
Sementara pendidikan militer
diawalinya dengan mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di
Bogor. Setelah selesai pendidikan, ia diangkat menjadi Komandan Batalyon di
Kroya. Ketika itu, pria yang memiliki sikap tegas ini sering memprotes tindakan
tentara Jepang yang berbuat sewenang-wenang dan bertindak kasar terhadap anak
buahnya. Karena sikap tegasnya itu, suatu kali dirinya hampir saja dibunuh oleh
tentara Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, dalam suatu pertempuran dengan pasukan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Itulah jasa pertamanya sebagai tentara pasca kemerdekaan Indonesia. Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 2 Nopember 1945, ia terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 18 Desember 1945, pangkat Jenderal diberikan padanya lewat pelantikan Presiden. Jadi ia memperoleh pangkat Jenderal tidak melalui Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya sebagaimana lazimnya, tapi karena prestasinya.
Setelah Indonesia merdeka, dalam suatu pertempuran dengan pasukan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Itulah jasa pertamanya sebagai tentara pasca kemerdekaan Indonesia. Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 2 Nopember 1945, ia terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 18 Desember 1945, pangkat Jenderal diberikan padanya lewat pelantikan Presiden. Jadi ia memperoleh pangkat Jenderal tidak melalui Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya sebagaimana lazimnya, tapi karena prestasinya.
Ketika pasukan sekutu datang
ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang, ternyata tentara
Belanda ikut dibonceng. Karenanya, TKR akhirnya terlibat pertempuran dengan
tentara sekutu. Demikianlah pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh
Sudirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada
tanggal 12 Desember tahun yang sama, dilancarkanlah serangan serentak terhadap
semua kedudukan Inggris. Pertempuran yang berkobar selama lima hari
itu akhirnya memaksa pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang.
Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan Agresi Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota Jakarta sebelumnya sudah dikuasai. Jenderal Sudirman yang saat itu berada di Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat lemah akibat paru-parunya yang hanya tingggal satu yang berfungsi.
Dalam Agresi Militer II Belanda itu, Yogyakarta pun kemudian berhasil dikuasai Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta serta beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan. Melihat keadaan itu, walaupun Presiden Soekarno sebelumnya telah menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota untuk melakukan perawatan. Namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya karena dorongan hatinya untuk melakukan perlawanan pada Belanda serta mengingat akan tanggungjawabnya sebagai pemimpin tentara.
Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan Agresi Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota Jakarta sebelumnya sudah dikuasai. Jenderal Sudirman yang saat itu berada di Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat lemah akibat paru-parunya yang hanya tingggal satu yang berfungsi.
Dalam Agresi Militer II Belanda itu, Yogyakarta pun kemudian berhasil dikuasai Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta serta beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan. Melihat keadaan itu, walaupun Presiden Soekarno sebelumnya telah menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota untuk melakukan perawatan. Namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya karena dorongan hatinya untuk melakukan perlawanan pada Belanda serta mengingat akan tanggungjawabnya sebagai pemimpin tentara.
Maka dengan ditandu, ia
berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya. Kurang lebih selama
tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, dari
gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali sementara obat juga
hampir-hampir tidak ada. Tapi kepada pasukannya ia selalu memberi semangat dan
petunjuk seakan dia sendiri tidak merasakan penyakitnya. Namun akhirnya ia
harus pulang dari medan gerilya, ia tidak bisa lagi memimpin Angkatan Perang secara langsung,
tapi pemikirannya selalu dibutuhkan.
Sudirman yang pada masa
pendudukan Jepang menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Banyumas, ini pernah mendirikan koperasi
untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Jenderal yang mempunyai jiwa
sosial yang tinggi, ini akhirnya harus meninggal pada usia yang masih relatif
muda, 34 tahun.
Pada tangal 29 Januari 1950,
Panglima Besar ini meninggal dunia di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan.
No comments:
Post a Comment